DUA KOMA TAK SALING BERTANGKUP

Seratus tahun tidak akan pernah untuk mudah
Mendengar hal-hal yang aku tidak akan percaya
Saya melihat dengan mata saya sendiri
Semua rasa sakit yang tidak bisa untuk disembunyikan
Kamu tidak akan menemukan saya untuk membungkuk, dan
berlutut pada perpisahan atas nama cinta (langit)

REBAH

Telah kembali kepada yang awal untuk segala permulaan,
dan kepada yang akhir kita tak akan pernah untuk kembali
kepada musim-musim yang telah berganti juga untuk mengulangi hal yang serupa,
dimana aku dulu mencintai kau dengan kekuatan rasa yang api.

KEPADA KAU

Masih ingatkah kau, kita singgah di kedai kopi tak jauh dari kelokan 23
bercerita untuk mimpi-mimpi yang segera lekas
Dimana pada hari itu aku meminangmu dibawah sumpah atas nama Tuhan
untuk menjadi ibu bagi anak-anakku kelak
Mata kita saling pandang, tak hiraukan berpuluh pasang mata
kita tetap dalam satu genggam tangan juga hati

Tak terasa hari semakin senja
dan bau terminal keberangkatan diujung mata
telah meminta aku segera, peluk saja tak cukup
beri aku bibirmu,aku ingin mencecap rasa yang api
tak peduli dibawah langit yang meronta

Sebelum lepas rengkuh tangan
Ijinkan aku mengucap pada angin yang bebisik
untuk tersampaikan pada dinding telingamu :

” Aku hanya inginkan selembar hatimu
sejak aku mencoba untuk hidup didalam rasamu
Dan kau tahu, rumah yang paling teduh bagiku, rumah jiwamu.
Dan rumah kita di bumi tak besar kecil saja
dimana ada sisa tanah untuk kau tanami bunga-bunga matahari
seperti nama anak kita, Sang Fajar. ”