BERBURU LAYANG-LAYANG

kesunyian memberi khabar
tentang masa kecil
ketika memburu layang-layang
di padang ilalang yang basah sehabis hujan semalam
berlari kencang bagai kijang,meliuk-liuk seperti maradona
melewati tiga empat pemain musuh

layang-layang terbang melayang
menjauh dari pusat titik aku berdiri
menengadah kepalaku yang gundul
ada pitak tak jauh di atas daun telinga kiri
tergores kaleng susu terlempar dari adik tersayang

mengejar layang-layang,mengejar seribu kisah
yang akan aku ceritakan pada kakek
bagaimana saat aku melompati satu,dua,tiga gundukan tanah

hup…!

yah…
lakilaki itu harus melompat jauh,itu wejangan dari kakek
bila kelak aku sudah dewasa nanti

menerabas padang ilalang dengan mata setajam mata elang
menatap buruan: layang-layang bergambar hati dengan tinta merah
hati itu jalan menuju taman bunga cinta di sana,di surga sana
itu ucapan kakek ketika kami berdua memancing ikan lele di kolam belakang rumah
lalu?dapatkah aku melihat surga kelak?ketika hati hitam pekat seperti membaca
jejakjejak pejalan cinta yang terselimut kabut yang maha tebal
protes dalam hati

aku terjatuh,terjerembab
wajah dengan hidung serupa jambu bol
mencium tanah pertiwi
kau harus cinta tanah air
sejelek apapun ia tetap tanah airmu,
tanah bumi pertiwi,itu pesan kakekku
sambil ia mengusap mesra lencana-lencana yang tergantung pada baju doreng
yang selalu tersimpan dengan baik di dalam almari jati tua

aku menangis,menahan rasa sakit yang sangat
hidungku berdarah
dengkulku terkelupas
aku ingat pesan kakek: lakilaki itu tak boleh cengeng,karena kau akan mengalami
luka yang akan membuatmu sakit sangat
Ketika beribu anak panah dunia menghujami dirimu
karena kau adalah panglima bagi dirimu

senja memerah jingga
setapak demi setapak menyusuri
hamparan padi yang menguning gading
lima buah layangan hasil berburu di cakrawala
dengan galah dari bambu dan ranting-ranting kecil di ujungnya
yang selalu menghalangi cahaya matahari sepanjang hari
tersimpan baik di dalam lumbung padi

esok seusai pulang sekolah
aku ingin berburu kembali
setelah semua selesai
aku akan ceritakan di makam kakek
sudah berapa hasil buruanku untuk hari ini

catatan yang tertinggal pada sebuah rumah kecil di kota Bandung,
l a n g i t j i w a.

foto by : Raraindra Prakasa

CATATAN NOVEMBER

Gemuruh petir mencubit daun telinga
Kaca-kaca bergetar,jalanan lenggang
Pintu-pintu membisu,dedaunan terbang melayang tanpa tenaga
aku duduk dibibir jendela yang mengangga lebar
membaui aroma tanah basah di siram air hujan
bersama usia yang semakin usang
Dan kerut-kerut wajah yang mengelayut
tinggal menunggu jatuh pada musim musim berganti

Kayu jendela pucat
Ada embun di balik kaca,wajahmu menarinari
Berkejaran bersama imajinasi dan hinggap
Dipucuk-pucuk pepohonan,aku menunggu
Mimpi-mimpi yang terjatuh
Lalu terkulai di ujung jejarum jam
Tik toknya seperti detang jantung
Berlomba bersama gemuruh petir

Tujuh kuntum bunga mawar merah bermekaran di bola matamu
biarkan bermandi air hujan agar merontokan debu debu yang melekat
begitu pun jiwa panca indera kita yang selalu rindu untuk dibasuh
Yang telah sekian lama berkarat

Hujan di bulan November,hujan pertama
ada keberangkatan yang tinggal menunggu waktu
Menjemput kau bersama cinta
Yang terbangun dari puing-puing asa dan harap

Bola mataku menatap dinding kamar kusam
ada sebuah lukisan yang tergantung mengambarkan empat kiblat
Memandanginya seperti mengaji diri,mengaji rasa membongkar keakuan.
Tiba-tiba aku mengigil kudekap tubuh dengan kedua tangan,meringuk
Pukul dua dini hari ranjang hitam meminta tubuh
Selamat tidur….selamat tidur….
Kesadaran melalang buana ke segenap penjuru semesta pada diri
Untuk menyambut hari yang baru dengan persoalan
dan permasalahan yang baru pula
Di sana pula aku berusaha mematahkan ketakutan-ketakutan dalam diri

>Kamar tengah,20 November 2009